Sunday, December 29, 2013

Telephone

               Aku rasa aku jatuh cinta lagi. Ceritanya sama. Namun kali ini, aku sudah mengenali suaranya. Awalnya aku tidak tau kalau ini cinta. Tapi saat dia pertamakali meneleponku, aku langsung jatuh cinta pada suaranya.
                Dia perfect bagiku. Dia cowok yang taat, pintar, dewasa, humoris, dan perhatian. Awalnya aku biasa saja karena aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Kami berdua juga sering curhat tentang masalah apapun.
***
                Siang itu sedang libur semester sekolah. Amat membosankan karena aku tidak ada kegiatan apapun selain berbaring di tempat tidur, membaca novel, bermain handphone, dan mendengarkan lagu. Aku memutuskan untuk keluar kamar untuk sholat dan makan siang. Tidak seperti biasanya, kali ini aku meninggalkan handphoneku di tempat tidur.
                Setelah aku kembali dan mengecek handphoneku, ada 2 missedcall dari dia. Lalu aku mengirim chat padanya.
                “Ada apa?” tanyaku. Karena baru pertama kali ini dia meneleponku.
                “Temenin aku ya?” tanpa sempat aku membalasnya, ia sudah meneleponku via instant messaging yang punya berbagai macam sticker lucu berbentuk beruang dan kelinci itu. Awalnya aku ragu mengangkatnya. Akhirnya aku membuat alasan “Ada adek gue,” kataku. Padahal saat itu aku sedang sendirian di kamar. Aku terlalu gugup.
                “Terus kenapa kalo ada adek lo?” ia lalu meneleponku lagi. Kali ini aku memberanikan diri untuk mengangkatnya.
                “Halo?” sapanya diseberang sana.
                “Apaan kak?” aku masih gugup. Tuhan, aku suka suaranya. Suaranya indah sekali.
                “Temenin gue. Gue sendirian di kelas,” katanya.
                “Di kelas? Ngapain? Bukannya lagi libur ya?”
                “Gue kan kelas 12. Ini lagi pemotretan buat yearbook,”
                “Ooh” aku bingung mau menjawab apa, aku masih gugup. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
                “Oh doang nih? Yah nyesel nih gue nelfon lo,” nada kekecewaan terdengar dari seberang sana. “Lo adek paling jahat deh,”
                “Ih gue adek paling baik sedunia tau,” aku mulai sedikit tenang.
                Kami pun saling bercanda dan membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Setelah 5 menit, telfon pun terputus.
***
                Tidak lama, handphoneku bergetar. Ada chat yang dibarengi dengan telepon dari dia.
                “Halo? Sorry tadi wifi tiba-tiba mati,” katanya.
                “Oke, no prob,” kami pun melanjutkan pembicaraan yang sempat terputus tadi.
                15 menit setelah kami berbincang-bincang hal-hal yang tidak terlalu penting,
                “Eh temen gue udah dateng. Thanks ya dek,” katanya.
                “My pleasure kak,” aku menjawabnya dengan bibir tersenyum bahagia.
                “Nice to hear your voice. Kapan-kapan lagi yaa,”
                “Siap! Gue tunggu,” kataku. Lalu ia mematikan teleponnya.

                Jantungku masih sama seperti tadi. Detaknya menjadi lebih cepat dari biasanya. Bibirku terus tersenyum hingga pipiku terasa pegal. Tapi aku senang. Aku senang mendengar suaranya. Dan aku rasa aku jatuh cinta lagi setelah setahun belakangan ini aku malas jatuh cinta karena masa lalu. Aku senang dia menganggapku seorang adik. Buatku, itu sudah lebih dari cukup. Aku senang bisa mengenalnya.

Saturday, November 2, 2013

Shining Sidoarjo

Haaaai lagi bete dan baru pulang sekolah dan gatau apa yang gue mau lakuin. Akhirnya gue mau pamer foto yang gue dapet pas acara Shining Sidoarjo. Nah SS ini salah satu event PERUCI (Pekan Raya Universitas Ciputra). Yaaa gue kalah sih, tapi tetep excited banget kok! Hehehe
So...ini sebagian foto gue







Kalo mau liat foto yang lain, silahkan hubungi contact person yang ada hahaha:)

Monday, October 21, 2013

Beda Tapi Sama

                Aku percaya kalo semua orang itu punya kepribadian yang beda. Termasuk cowok. Aku kurang setuju dengan pendapat “Semua cowok sama” yang biasa dilontarin cewe. Mungkin, mereka kurang melihat sisi lain dari si cowok.
                Tapi kali ini, aku nemuin sosok cowok yang mirip dengan masa laluku. Masa lalu yang sebenarnya sampai saat ini aku belum bisa melupakannya. Memang, melupakan masa lalu itu lebih susah daripada melupakan isi buku sejarah. Untungnya aku anak IPA, yaa meskipun masih ada pelajaran sejarah yang sebenarnya membuatku jengkel sih.
Kenapa jadi bahas sejarah?
                Masa laluku bernama Mavin. Ia cowok yang pernah menempati hatiku selama hampir 1 tahun. Ia cowo yang baik. Ia tidak pernah berkata kotor/kasar, ia selalu taat beribadah, ia juga rajin belajar, ia menyukai film, dan ia sangat perhatian.
                Sama seperti yang dilakukan seseorang padaku sekarang, setelah Mavin pergi hilang entah kemana. Mario namanya. Perkenalan kami berawal saat aku dan sahabatku, Naya sedang asik nongkrong di Jco.
                Tiba-tiba Gery, pacar Naya datang dengan temannya. Iya, dia Mario. Naya yang asik ngobrol dengan pacarnya, lalu pamit untuk jalan-jalan. Tinggallah aku dan Mario. Aku masih asik dengan Jcool-ku. Mario memandangiku.
                “Mau?” tanyaku. Bego, ngapain nawarin orang asing kayak dia? Batinku.
                “Engga, makasih. Gue udah punya ini,” katanya sambil menunjuk cappuccinonya.
                “Ohehe,” aku hanya tersenyum, lalu melanjutkan memakan Jcoolku.
                “Kita belum kenalan,” katanya. Aku tersedak buah longan. “Hahaha,” ia menertawaiku.
                “Oh iya ya hahaha, gue Tira. Lo?” tanyaku.
                “Mario. Kok bisa kenal sama Gery?” tanyanya. “Dia kan pacar sahabat gue, lo siapanya Gery?”
                “Temen satu sekolahannya dia,”
                “Oooh,” yeah, kata ini selalu bisa mengakhiri percakapan. Suasana hening. Ia meminum cappucinonya dan aku sekarang sibuk dengan hapeku.
                “Nay! Lo kemana? Tega amat ninggalin temennya sama orang asing begini.” Aku mengirim pesan kepada Naya. Aku kembali sibuk dengan Jcoolku.
                “Sorry ya Tir gue tinggal. Mendadak nyokapnya Gery nelfon nyuruh dia balik. Alhasil gue ikut kerumah Gery. Have fun aja ya sama temennya Gery,” Naya membalas pesanku. Sialan. Batinku.
Aku melihat ke arah Mario. Ia sedang melihat hapenya juga. “Tir, gimana nih?” tanyanya saat ia memergoki aku memandangnya.
                “Gery udah balik sama cewenya. Lo mau disini aja apa pulang?” lanjutnya.
                “Emm…” aku berpikir keras. Kalo aku pulang, mungkin aku bakal cuma guling-guling dikasur. Kalo disini? Cuma liat orang mondar mandir dan Mario.
                “Nonton yuk,”ajaknya tiba-tiba. Aku kembali tersedak, kali ini almond.
                “Mau nonton apaan?” tanyaku.
                “Udah nonton Prisoners?” aku menggeleng.
                “Yaudah buruan abisin yogurt lo, terus kita langsung ke XXI,” ia lalu menghabiskan Cappucinonya.
***
                Aku dan Mario keluar dari studio. Kami saling diam. Perutku berbunyi. Dari pagi aku belum makan sama sekali.
                “Makan yuk,” ajaknya. Apa Mario denger suara perutku?
                “Yuk, foodcourt aja ya,” lalu kami menuju foodcourt.
XXI dan foodcourt berada satu lantai. Jadi kami tidak perlu naik atau turun escalator. Menuju ke foodcourt, kami masih saling diam. Ia berjalan di depanku, dan aku dibelakang mengikutinya.
                Setelah mencari tempat duduk yang kosong, kami duduk. “Mau gue dulu apa lo dulu yang nyari makan?” kali ini aku berusaha berani memecah keheningan diantara kami. “Lo dulu aja,” aku berdiri dan segera pergi mencari makan. Tak sampai 10 menit, aku sudah kembali. Saat aku meletakkan nampan berisi makan dan minumku, Mario segera berdiri lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia juga kembali lumayan cepat.
                “Lo suka nonton film yang begituan?” tanya Mario saat kami selesai makan.
                “Iya,”
                “Kalo film action atau film romance, lo milih mana?”
                “Gue sih lebih milih action,”
             “Wah, sama dong. Eh ada id Line ga? Siapatau kalo gue lagi suntuk atau ada film baru gue bisa ajak lo pas gue gaada temen,” aku pun memberikan id Lineku. Sejak saat itu, kami dekat. Tidak hanya membicarakan film saja, tapi yang lainnya.
                Gaya bahasanya, ia mirip dengan Mavin. Ia juga sering mengigatkanku untuk belajar, beribadah, makan, dan lain sebagainya. Ia juga selalu mempunyai banyak topik agar chat kami tidak terasa membosankan. Ia seperti Mavin.
                “Tir, nonton yuk. Catching Fire. Lo libur kan Sabtu besok?” tanyanya.
                “Yuk. Sama siapa aja? Gery-Naya?” tanyaku.
                “Lo gatau Gery sama Naya ya? Mereka kan gasuka nonton,”
                “Oh iya hahaha. Oke, besok jam berapa?”
                “Jam 11 kita ketemuan di Jco, oke?”
                “Oke”
***
                Aku sudah ada di Jco 15 menit lebih awal dari yang di janjikan. Dan ternyata Mario juga sudah datang. “Kata gue kan jam 11,” Mario kaget saat melihatku. “Ya gapapa dong lebih awal, toh lo juga udah dateng,” aku lalu duduk di depannya.
                “Bioskop masih 45 menit lagi bukanya, mau gue pesenin minum?” tanya Mario.
                “Gue udah ada ini,” aku menunjuk Jcool yang aku bawa.
                “Oh iya haha,”
Suasana kembali hening. Aku memperatikan Mario saat menyeruput cappuccinonya. Mavin juga suka cappuccino.
                “Tir, jadian yuk,” ucapan Mario yang memecah keheningan mengagetkanku sehingga aku tersedak. Entah sudah berapakali Mario melihatku tersedak.
                “Becanda ya lo?” tanyaku.
                “Gue serius,” Mario mencondongkan tubuhnya kedepan dan menatapku. Aku melihat matanya! Tatapannya…ah indah sekali. Mungkin hanya mata ini yang tidak dimiliki siapapun, termasuk Mavin.
                “Yuk,” aku tersenyum. “Asik. Yaudah, abisin yogurt kamu, terus kita ke XXI beli tiket,” ajak Mario. Ia lalu menyeruput cappuccinonya hingga habis.

Tuesday, September 17, 2013

Yay!

Heyheyhey! kangen ngeblog yaa. Kangen curhat, kangen ngepost foto, kangen bikin cerpen juga. Maklum gue sebagai anak SMA baru lagi supersibuk. Include, sibuk adaptasi.
Gue mau cerita soal pengalaman pertama gue di SMA.
Gue daftar jadi redaksi majalah sekolah sebagai fotografer dan...oke gue gagal. Gak diterima broh-_-
Hari sebelum gue seleksi redaksi majalah, gue ditawarin kakak kelas buat ikutan lomba fotografi SMANTIGDACUP dan akhirnya gue ikut. Sebenernya cuma iseng dan gue gak terlalu berambisi buat menang ye. Lagian gue juga newbie.
Nah pas tanggal 2 September tuh ada technical meeting. Gue dateng sendirian soalnya si kakak kelas lagi banyak urusan. Pas TM gue seneng, ya dapet temen baru gitu. 
Nah lombanya tanggal 8 sampe 10 September. Ya gue jalanin nurut sama tata tertibnya lah ya. Gue juga enjoy kok foto-foto gitu. Gue juga ijin ke sekolahan. Banyangin deh, sampe sekarang, gue murid yang baru 2 bulan sekolah di SMA udah ijin pulang duluan 5 kali huahahaha-_-v
Dan pengumuman lomba itu tanggal 15 September. Tim basket cowo sekolah gue dapet juara 2. Pas tanggal 15 tuh gue ga dateng gara-gara gue sakit. Alhasil mbak panitianya nelfon gue sekitar jam 3.
Puncaknya jam setengah 4 sore nih, kakak kelas gue, kebetulan dia dateng, ngirim VN ke gue dan ternyata gue jadi juara favorit! Gue shock. Ya pada awalnya kan emang gue ga niat buat menangin apa-apa ye.
Besoknya pas disekolahan, ada temen kelas gue yang tau. Dan akhirnya satu kelas pada tau.
Temen gue ada yang bilang "manda aneh, ga diterima di majalah sekolah tapi bisa menang" dan akhirnya mereka ngejudge seenak mereka sendiri-_-
So.....intinya gue seneng banget! 
Thanks buat kakak kelas yang ngajakin gue ikut lomba, thanks buat penyemangat pas lomba, thanks buat semuanya. Laf!



Friday, August 16, 2013

Liar

Aku tau kamu bohong. Dan bodohnya aku mempercayaimu 9 bulan ini. Lebih bodohnya lagi, aku juga mencintaimu selama 9 bulan ini. Aku mencintai segala tentangmu, termasuk kebohonganmu. Aku tidak tau apakah aku akan tetap mencintaimu meskipun hari ini semuanya sudah terungkap. Meskipun aku sudah tau siapa kamu sebenarnya.
***
                Sore ini sama seperti sore-sore biasanya. Aku dan Gilang membicarakan obrolan yang sebenarnya tidak penting melalui voice call LINE. Kami berteman. Ya, hanya teman yang dipisahkan oleh jarak. Aku di Indonesia dan dia orang Indonesia yang pindah di salah satu Negara tetangga. Dia tidak tau perasaan ku padanya selama ini, selama 9 bulan ini.
                “Feb gue mandi dulu ye, sambung ntar malem aja,” kata Gilang.
                “Oke,” aku mengakhiri pembicaraan lalu menutup telfon.
Aku mengambil remote tv lalu mencari acara bagus untuk di tonton. Ah tidak ada yang bagus, semuanya membosankan.
Aku memutuskan mengambil handphoneku lagi. Ternyata ada notification dari Twitter. Followers baru. “Fllwbck?” katanya. Aku menuju profilnya lalu memencet tombol follow, Saski namanya. “Fllwd ya, intro?” aku membalas mentionnya dan bertanya. Perasaanku tidak enak.
                “Saski, Bandung. Bisa cek dm?” pinta Saski, lalu ada notification direct message di hapeku.
                “Sorry, gue sok kenal sama lo, tapi ini penting. Lo kenal Gilang Herlangga?” tanya Saski.
                “Iya kenal, kenapa ya?” aku semakin penasaran.
                “Foto-foto yang Gilang pake itu foto pacar gue, Dika. Pacar gue lagi sekolah di Singapura. Gilang itu fake, Feb. Cek aja twitter pacar gue, usernamenya ada di bio gue. Gue belum tau aslinya dia siapa dan gimana,” Deg! Apakah aku harus percaya sama orang baru ini?
                “Serius Sas?” tanyaku.
                “Iya Feb. Lo mau ngomong sama pacar gue? Tolong skak dia ya. Dulu gue pernah juga, tapi dia tetep gitu,” Screencaptured! Aku langsung mengirimkan pesan ke Gilang, “Lang, gue mau nanya”.
                “Gue coba Sas. Makasih ya infonya,” kataku. Mataku terasa panas dan dadaku sesak. Aku menangis.
***
                Sudah satu jam yang lalu aku mengirimkan pesan itu tapi belum ada balasan. Aku semakin penasaran.  Dan sejak aku tau kalau dia fake, aku langsung curhat pada sahabatku, Vidya.
                “Udah tau jeleknya kan Feb? Yaudah sekarang tinggal lonya aja mau masih percaya apa engga sama Gilang. Tapi buktinya udah jelas Feb,” katanya.
                “Oke gue percaya sama Saski. Tapi kan gue suka ga cuman dari facenya doang Vid, sifatnya yang baik itu bikin gue suka sama dia,” kataku sambil terisak, suaraku menjadi terputus-putus.
                “Dia baik? Udah bohongin lo selama ini? Udah gantungin lo? Udah nge-friendzone-in lo? Lo bilang baik Feb? Moveon Feb. Liat itu, Rangga nungguin lo,” Rangga, kakak kelas yang sejak MOS sudah dekat denganku.
                “Gue coba deh Vid, makasih yaa” kataku. Lalu mengakhiri pembicaraan.
Tiba-tiba led hijau di hapeku menyala, ada LINE. Semoga Gilang. “Apa?” tanyanya. Lalu aku menanyakan soal Dika. “Itu siapa?” sepertinya ia pura-pura tidak tau.
                “Lang jujur aja, gue gabakal marah kok. Gue gabakal jauhin lo, gue bakal tetep jadi temen lo,” aku berusaha mendesaknya agar ia jujur, agar semuanya terungkap.
                “Gatau Feb, gue gakenal,” lagi-lagi Gilang berbohong. Aku sudah menyerah. Aku mengirimkan screencapture yang tadi sempat aku ambil. Gilang hanya membaca pesanku tanpa membalasnya.
                “Lang, mending jadi diri lo sendiri deh. Orang ga nilai lo dari covernya doang, tapi sifatnya juga,” lagi lagi pesanku tidak dibalas. Ini pembicaraan terakhir kami.
***
                Aku sudah bisa melupakan Gilang. Tidak, tidak semuanya. Rasa sakit hati masih ada. Tapi, yasudahlah lupakan saja. Mungkin dia sedang asik mencari orang untuk dibohongi lagi. Toh bukan dia satu-satunya teman laki-laki yang aku punya, masih ada Rangga yang lebih baik dari Gilang.

Monday, July 22, 2013

One And Only

"If the distance keeps you from my side, it won't change my mind. I'll be waiting for you."

Dan sepertinya quotes di buku tulis itu ngena banget. Tapi hebatnya, meskipun jarak itu jauh, bisa menimbulkan perasaan spesial meskipun cuman lewat percakapan sederhana yang tidak singkat, tapi rutin. Cinta. Jarak tidak apa-apanya jika dibandingkan dengan cinta. Mereka masih bisa saling jatuh cinta meskipun dipisahkan ribuan kilometer sekalipun. Hingga pada akhirnya, salah satu dari mereka mengkhianati janji mereka. Maka, jarak pun terasa menyiksa.

"The distance between us makes it so hard to stay" -Nothing Lasts Forever, Maroon 5.

I've been meet a thousand peoples, but I just want you.
Stupid? I think so. Tetap mempertahankan yang lama meskipun menyakitkan, dengan jarak yang superjauh, dan enggan untuk moveon atau sekedar melupakanya.
Bukannya tidak ada yang mendekat, namun hati ini sudah dikunci oleh seseorang yang jauh disana.
Dan yang dekat pun tidak mampu membuka kuncinya.

Rasanya malas untuk jatuh cinta lagi.
Aku sudah terlalu nyaman dengan perasaan yang sebenarnya cukup meyiksa ini.
Ketika aku mulai merindukanmu, aku hanya bisa membaca percakapan kita lewat sebuah aplikasi chat atau sms. Percakapan yang absurd tapi mampu membuat tersenyum. Tapi itu tidak bisa mengobati rasa ingin bertemu ini. Tidak ada alasan mengapa tumbuh perasaan ini, cinta tidak butuh alasan.

Cinta ga bisa dipaksa kan?
Perasaan juga ga bisa di bohongin, apalagi terus-menerus.
Kamu yang bilang itu padaku, dan ternyata benar.
Sangat sulit untuk berpura-pura terus.
Berpura-pura tidak mencintaimu, berpura-pura sudah menaruh hati pada yang lain padahal hati ini masih di kamu, dan berpura-pura tidak merindukanmu.

Kamu yang beda diantara semua orang yang pernah aku temui.
You're the one. You're special. I never change this feeling until I meet someone like you or better than you.

"Nothing's gonna change my love for you, you ought to know by now how much I love you" -Nothings Gonna Change My Love For You, Westlife.

Friday, June 28, 2013

Friendzone

Hai. Kali ini gue mau ngomongin soal "Friendzone". Sudah tau kan friendzone itu gimana? Kalo gatau coba search di google. Istilah ini sering dipake sama cowo, tapi kali ini gue make biar macho dikit.
Gue pernah jadi korban friendzone dan tersangka friendzone. Rasanya.....beda.

Pertama gue mau ceritain rasanya jadi korban friendzone.
Aduh kalo pas lo ada di posisi ini beneran ga enak banget deh. Lo berharap lebih sama dia, tapi dia cuman nganggep lo sebagai temen atau kakak-adek-an doang. Padahal rasa lo ke dia lebih dari itu. Ini mungkin gara-gara dia cuman memanfaatkan lo biar dia ga kesepian, ga peduli sama lo, atau dia bener-bener ga peka. Padahal lo udah ngelakuin banyak hal demi dia seneng. It's really hurt. Nyesek.

Nah, sekarang gue mau ceritain rasanya jadi tersangka friendzone.
Gini. Lo ga bakal nyadar kalo lo ternyata nge-friendzone-in dia. Ya gimana lo tau, dia gapernah ngungkapin perasaan sebenernya ke lo. Jadi ya lo cuman nganggep dia temen doang, dan lo sering curhat soal mantan/gebetan lo ke dia. Padahal nih ya, kalo lo cerita dianya nyesek. Trust me. Dan sampai akhirnya dia ngungkapin perasaannya, dan lo belum bisa nerima dia. Lo baru nyadar kalo lo nge-friendzone-in dia. Disini baru timbul rasa bersalah lo.

Oke, jadi mending jangan takut buat ngungkapin perasaan lo biar gak terjebak di friendzone. Biar lo tau langsung gimana perasaan dia ke lo. Jangan mau dimanfaatin doang sama dia, mentang-mentang lo sayang sama dia, lo mau aja disuruh ini itu sama dia. Inget, JANGAN!

Saturday, June 8, 2013

90 Menit

                Sudah hampir satu jam aku menunggu disini. Sampai-sampai cappucinno yang ku pesan sudah hampir dingin. Oreo cheesecake kesukaanku juga hampir habis.  Aku melihat hapeku. Pesan yang ku kirim satu jam yang lalu belum juga mendapat balasan.
***
Jumat sore.
Angga: “Besok kita ketemuan di café biasa. Mumpung kita lagi satu kota nih.”
Gita: “Oke. Jam berapa?” Sial, undelivered. Batinku. Ayo buruan deliv dong. Aku melempar hapeku ke kasur.
Angga: “Sorry Git, habis reboot. Jam 7 malem ya.”
Gita: “Siap bos.”
                Angga namanya. Dulu waktu SMP kami satu sekolah. Tapi kami tidak dekat, malah seperti orang tidak kenal. Akhir kelas 3, kami baru dekat. Itupun gara-gara kami bertemu di salah satu konser musik jazz di Jogja. Mulai kejadian itu, intensitas chatting kami lebih sering. Saat bertemu pun kadang kami saling menegur sapa.
                Hingga akhirnya, pada saat SMA aku harus pindah ke Jakarta. Hal ini tidak menghalangi kami untuk saling curhat dan membicarakan aliran musik kesukaan kami yang kebetulan sama. Kami pun semakin dekat meskipun jarak kami lebih dari 500 kilometer.
Sabtu pagi.
Angga: “Jangan lupa nanti malem jam 7.”
Gita: “Iya, Ngga.”
                Aku sampai pukul 7 tepat. Kayaknya Angga belum dateng, pikirku. Aku memilih duduk di luar agar Angga lebih mudah menemuiku nanti. Aku memutuskan untuk memesan cappucinno dan oreo cheesecake kesukaanku. 15 menit berlalu, ia belum juga datang.

***
                Sudah pukul 8 lebih. Ah aku benci menunggu seperti ini. Aku memutuskan mengirimkan pesan kepada Angga lagi.
Gita: “Ngga, kalo setengah 9 lo belum dateng, gue balik nih.”
Aku berdoa dalam hati, semoga dia baca.
Oh sepertinya dia membuang hapenya. 10 menit aku menunggu, tetap tidak ada balasan dari Angga. Batang hidungnya pun tidak terlihat. Padahal 7 menit lagi sudah pukul setengah 9.
                “Ngelamun aja lo git. Sorry gue telat. Mobil gue mogok tadi. Ya lo tau lah mobil gue gimana uniknya haha,” Angga datang. Mengagetkanku.
                “Seenggaknya lo ngabarin gue, Ngga. SMS gue juga ga lo bales,” kataku sedikit kesal.
                “Hape gue low nih. Nih nih liat,” Angga menunjukkan hapenya padaku. Oke, memang benar hapenya lowbat.
                “So…ngapain lo ngajak ketemuan?” tanyaku.
                “Mas!” teriak Angga, ia memanggil pelayan yang berdiri di dekat pintu itu. Pelayan itu pun datang menghampiri kami.
                “Bisa saya bantu mas?” tanya pelayan itu. Bima namanya. Iya, aku membaca name tagnya.
                “Latte satu ya mas,” pesan Angga. Pelayan yang bernama Bima itu pun menulis pesanan Angga.
                “Sudah ini saja?” tanya Bima.
                “Lo ga mesen, Git?” tanya Angga padaku.
                “Engga,” jawabku singkat.
                “Udah itu aja mas,”
                “Baik, terimakasih,” Bima meninggalkan meja kami.
                “Hey, lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Gue gamau ya nunggu lo sejam setengah buat hal yang ternyata ga penting,” Angga menoleh ke arahku.
                “Ini penting kok. Buat gue, buat lo juga mungkin. Git, gue sayang sama lo, lebih dari temen. Mau gak lo jadi……ya lo tau lah apa yang gue maksud,” oke, aku tau maksud Angga.
                “Tapi kita bakal LDR, Ngga,” jawabku.
                Angga menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, “Gapapa, Git. Gue siap.”
                “Hm…oke gue mau,” aku tersenyum, Angga juga tersenyum. Penantian 90 menit tanpa kabar malam ini yang membosankan memang tidak berakhir percuma seperti apa yang dikatakan Angga.
Pelayan yang bernama Bima tadi datang dengan nampan berisi secangkir Latte pesanan Angga dan menaruhnya di meja kami. Lalu ia pergi untuk bekerja lagi. Kami pun melanjutkan perbincangan kami.


Wednesday, May 1, 2013

Re-mind

                “Dhis pulang yuk. Bosen ah disekolah kerjaannya nonton mulu,” ajak Bella.
                “Yakan unas udah kelar, mau ngapain lagi? Gue ga pulang, mau ke toko buku dulu,” kataku.
                “Yasudah, gue balik duluan ya guys,” pamit Bella pada seluruh anak-anak dikelas.  Aku, Nia, Dhifa dan Ajeng melanjutkan menonton film yang sudah separuh berjalan. 
                “Gak ngebayangin deh LDR Indonesia-Australia. Kangennya itu lho….duh kasian ya,” celoteh Ajeng.  Mendengar itu aku tersenyum. Seketika ingatanku kembali pada waktu tanggal 26 Desember. Pada waktu aku dan dia, Noval, memulai hubungan jarak jauh. Jogja dan Jakarta.
                Memang itu bukan jarak yang terlalu jauh. Tapi siapa yang kuat dengan rasa kangen yang terus memukuli hati karena tidak bisa bertemu dalam waktu yang cukup lama? Mungkin ada, namun tidak dengan aku. Rasa kangen yang terus menerus datang tidak dapat aku tolak.
                Bukan hanya rasa kangen yang terus menyiksa. Rasa cemburu juga datang. Cemburu dengan teman-teman lawan jenisnya yang bisa melihat dia setiap hari di sekolah. Iya, aku tipe orang yang amat sangat pencemburu. Aku juga tipe orang yang suka khawatir. Jika dia tidak mengabariku atau mengucapkan ‘selamat pagi’ aku langsung cemas dan aku memberanikan diri untuk mengirimkan pesan duluan. Kadang aku tidak berani karena takut mengganggu tidurnya. Aku dan Noval sudah tidak kuat dengan jarak yang memisahkan kami berdua. Pada akhirnya, tepat tanggal 3 Maret kami memutuskan mengakhiri hubungan jarak jauh ini.
                Film yang aku dan teman-temanku putar sudah selesai. Kami memutuskan untuk pulang. Nia dan Dhifa memutuskan untuk pulang duluan. Sedangkan aku dan Ajeng menunggu jemputan kami. Sungguh, aku tidak suka momen ini. Tak lama jemputanku sudah datang “Gue balik dulu ya, Jeng. Selamat nunggu jemputan sendirian mblo,” kataku sambil melambaikan tangan lalu pergi kearah mobil jemputanku.
                “Pak, aku ke toko buku aja,” kataku pada supir jemputan. Mobil pun meluncur kearah toko buku yang aku tuju.
***
                Aku memasuki toko buku, sendirian dengan seragam putih biru dan tas ransel cokelat yang aku bawa. Aku mencari novel yang membuatku niat pergi ke toko buku. Ya, buku ini sudah aku incar sejak sebelum unas.
                Setelah aku mendapatkan  buku yang aku cari, aku memutuskan melihat-lihat buku dibagian ‘new release’. Mendadak mataku tertuju pada buku bersampul putih dengan ilustrasi jalan raya pada sampulnya. Aku membaca judulnya, aku mengambil buku itu dan memutuskan untuk membaca bagian belakang buku. Aku tersenyum lagi, buku tentang LDR ini membuatku mengingat Noval lagi.
                Aku menuju kasir dengan membawa 3 buku. 2 buku yang sudah aku incar sejak lama dan 1 buku yang tidak sengaja aku tertarik dengannya. Aku masih mengingat Noval, tentang semua kejadian yang pernah aku alami bersamanya.
                “Totalnya 140.500 mbak,” kata mas kasir, membuyarkan lamunanku. Aku memberikan uang  150.000. “Ini mbak kembaliannya, 9.500 ya. Makasih mbak,” mas kasir itu memberikan selembar uang 5 ribu, 2 lembar uang 2 ribuan dan 1 koin logam bertuliskan angka 500.  “Sama-sama mas,” jawabku, lalu meninggalkan toko buku itu.
                Siang ini sangat terik. Aku menunggu angkot di perempatan dekat toko buku tadi. Tak lama angkot berwarna kuning yang aku tunggu daritadi datang. Aku masuk dan duduk didekat pintu.  Aku memangku kantong plastik berisi 3 buku itu sambil menatap keluar angkot. Pikiranku kembali tidak karuan. Aku menatap buku bersampul putih itu lagi, kenapa gue bisa beli buku ini? Harusnya gue lupain dia, sedangkan buku ini bikin inget sama dia pikirku. Lalu aku menatap keluar jendela lagi.
                “Mbak mau turun dimana?” tanya supir angkot. Suasanya angkot hening. Memang, pada saat itu tinggal aku penumpang satu-satunya yang belum turun. “Mbak mbak, mau turun dimana?” ulang supir angkot itu lagi, kali ini beliau berhasil membuyarkan lamunanku.
                “Eh iya pak? Perempatan lampu merah depan ya pak,” kataku.

***
                Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku memutuskan untuk membaca buku bersampul putih itu.  Halaman demi halaman aku baca dengan benar. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ada BBM. Ternyata dari Noval. “Dhis, bantuin gue dong. Gimana caranya biar cewek peka?” tanya Noval. Aku terdiam. Jadi sekarang Noval sudah punya yang baru sedangkan aku masih belum bisa moveon dari dia? Tidak adil. “Cowo kok main kode-kodean, frontal dong. Langsung tembak,” balasku. Dadaku terasa sesak, air mataku menetes.  Lalu Noval hanya membaca balasan dariku. Aku membuka laptop dan berniat untuk blogging. Lalu aku menulis sebuah curhatan kecil tanpa judul. Dengan berharap Noval membaca postinganku kali ini dan dia mengerti.
Buat lo yang masih betah nongkrong dipikiran gue.
Tau ga sampe sekarang gue masih ngestuck di lo. Males rasanya moveon dari lo. Gue nyaman sama lo. Tau kok gue bukan siapa-siapa gue lagi, tapi gue seneng lo masih BBM-in gue. Kadang gue bener-bener pengen moveon dari lo, tapi selalu aja ada sesuatu yang bikin gue keinget sama lo terus. Dan akhirnya gue nyerah sama perasaan gue kali ini. Gue bakal biarin sampe ada orang yang bener-bener bisa bikin gue lupa sama lo. Entah itu besok, lusa, tahun depan atau bahkan 5 tahun lagi. Seenggaknya kita masih komunikasi kayak gini terus, gue udah seneng kok. Terimakasih buat semua kenangannya.
Aku menekan tombol ‘Publish’ dan menutup laptopku. Sudah pukul 11 malam, waktunya untuk tidur. Semoga Noval membaca apa yang aku tulis. Ya, semoga.

Thursday, April 11, 2013

Nomor 5

                Aku duduk di beranda luar salah satu kedai kopi di kotaku. Di depanku ada sepasang kekasih saling berbincang. Di sebelahku ada segerombolan anak muda dengan rokok ditangannya. Sedangkan aku, sendirian.
                Aku membuka handphoneku dan menuju ke kotak pesan. Aku membaca pesan itu kembali.
                ‘Kita udahan ya. Semoga bisa cepet jadian sama dia’
                Pesan dari  Nanda tadi sore. Tidak jelas apa alasannya, sampai sekarang aku pun masih bertanya. Berusaha menemukan jawaban di tempat dan meja yang sama saat aku dan Nanda bertemu.  
***
Malam itu, tanggal 29 Januari aku menuju ke tempat ini untuk menemui Nanda. Aku membeli sebuah powerbank yang ia jual. Itu kali pertama aku bertemu Nanda.
“Bella ya?” sesosok laki-laki dengan kemeja denim biru tua dan celana chino coklat yang serasi dengan pakaiannya menghampiriku.
“Iya.  Lo Nanda?” tanyaku.
“Iya gue Nanda. Maaf ya nunggu lama, tadi macet sih,” kata Nanda.
“Iya gapapa, duduk gih,” aku mempesilahkan Nanda duduk di depanku. Lalu ia memberikan powerbank yang akan aku beli. Dan kami pun berbincang banyak hal. Sejak saat itu, aku sudah merasa nyaman dengan Nanda.
Sebulan kami berkenalan, akhirnya kami jadian. Tepat tanggal 17 Maret. Ditempat yang sama saat kami pertama bertemu, meja nomor 5 di beranda depan kedai kopi.
Hubungan kami berjalan lancar sejauh ini. Namun, tiba-tiba tadi sore ia marah padaku.
“Bel, gue mau nanya sesuatu sama lo,” pesan dari Nanda mengagetkanku saat aku akan pulang sekolah.
“Tanya apa?” tanyaku sedikit berhati-hati.
“Revan siapa? Seharian kemaren kayaknya lo mention-an terus sama dia,” balas Nanda.
“Oh dia temen SD gue, kenapa?”
“Gue curiga. Mending kita udahan ya. Semoga bisa cepet jadian sama Revan,”
“Kok gitu sih? Hey gue sayang sama lo, Nda” kataku, dadaku terasa sesak.
“Gue cemburu Bel, lo sering main sama cowo. Kayaknya temen lo tuh cowo semua, gue capek cemburu terus. Maaf Bel, gue gabisa jadi yang lo mau,” balas Nanda.
***
Oke, hubungan kami berakhir begitu saja. Menyakitkan. Aku masih duduk sendirian di meja nomor 5 ini. Menyeruput hot cappuccino yang perlahan mulai mendingin seiring berjalannya waktu.  Tiba-tiba sesosok laki-laki dengan secangkir kopinya menghampiriku.
“Boleh duduk disini?” tanyanya. Aku yang menunduk langsung menatap laki-laki itu. Nanda?
“Nanda? Ngapain lo kesini? Boleh kok,” kataku mempersilahkan ia duduk didepanku.
“Gue pengen ngopi aja. Eh gue liat ada cewe sendirian duduk diluar, terus gue kesini deh. Gak baik cewe duduk sendirian diluar malem gini,”
“Haha ga baik gimana? Toh gue masih aman-aman aja tuh,” kataku sedikit tersenyum.
“Sebenernya gue mau ngomong sesuatu sama lo, Bel. Tadi gue kerumah lo, tapi lo gak ada. Kata kakak lo, lo disini. Yaudah gue samperin kesini,”
“Ngomong apaan?”
“Soal kejadian tadi sore Bel. Maaf gue salah paham sama lo. Harusnya gue lebih ngertiin lo, ga terlalu protektif sama lo. Gue nyesel Bel. Mau gak kita balikan?” tanya Nanda. Aku terdiam sesaat.
“Iya Nda, gue mau. Tapi janji ya lo jangan over sama gue lagi. Lo tau kan dari dulu temen gue emang banyak cowonya hehe,” kataku.
“Iya Bel, gue janji. Maafin gue ya sayang,” Nanda tersenyum menatapku, lalu ia mengambil tanganku dan menggenggamnya.
Di kedai kopi yang sama, di meja nomor 5. Tempat yang sangat bersejarah buatku dan Nanda. Tempat pertama kali kami bertemu, tempat saat ia mengungkapkan perasaannya dan tempat dimana hubungan kami membaik setelah hancur. Meja nomor 5.

Thursday, March 21, 2013

Sejarah dan Flashback


                Selesai sudah ujian praktek yang  membuatku pusing setengah mati. Kelas 3 ini sangat membuatku pusing. Pikiranku lelah dengan semua pelajaran yang dipaksa masuk ke dalam otakku. Tidak, tidak hanya pelajaran saja. Hidup bukan hanya belajar materi-materi disekolah, tapi banyak permasalahan diluar sekolah, salah satunya hati.
***
                Malam ini aku memutuskan untuk belajar sejarah. Ya, aku harus belajar sejarah ini sungguh-sungguh. Selain minggu depan sudah ujian sekolah, guru sejarah yang mengajar di kelasku tidak pernah menenrangkan soal pelajaran. Beliau hanya suka menceritakan hal yang sama yang membuat seisi kelas bosan, seperti perjalanan hidupnya yang menyenangkan.
                Aku mengambil buku paket sejarahku. Melihat sampul bukunya saja sudah bosan. Aku membuka daftar isi, mencari materi apa yang kurang atau bahkan belum aku kuasai sama sekali. Aku rasa semuanya belum sepenuhnya aku kuasai. Sehingga aku membacanya dari bab pertama. Sambil belajar aku mendengarkan lagu dari iPodku agar tidak bosan.
***
                3 Bab sudah ku baca. Aku mulai mengantuk dengan buku yang 85% berisi tulisan cerita masa lalu. Aku mengambil handphoneku. Tidak ada apa apa. Aku bingung.
Aku memindahkan earphone dari iPod ke handphoneku. Lalu aku memencet options shuffle songs.
                Aku memutuskan membuka SMS ku, meskipun tidak ada satupun SMS yang masuk. Jariku tergerak kebawah, menuju SMS paling lama yang masih ku simpan. Disitu tertera nama “Pradito”. Ya, panggil saja dia Dito.
                Dito. Ia sempat membuat hari-hariku menyenangkan, meskipun hanya beberapa  bulan. Ia adalah masa lalu ku.
                SMS dari Dito adalah SMS terbanyak yang masih ada di handphoneku. Aku membacanya dari atas, “Hai” sapanya. SMS itu adalah SMS pertama yang Dito kirim untukku setelah mendapatkan nomorku. Playlistku masih terputar, jariku masih menggerakkan trackpad kebawah, mataku masih jeli membaca setiap SMS dari Dito, pikiranku masih melayang ke masa-masa itu, dan tak lama hatiku terasa sesak.
Sampai di SMS pada tanggal 17 Oktober pada pukul 22.23 malam.
“Fik, udah tidur belum?” tanyanya.
“Belum kak, kenapa?”
“Nembak cewe malem gini pantes gak sih?”
“Pantes sih, biar pas itu cewe bangun terus baca sms dari lo, dia langsung senyam-senyum kayak orang gila gitu.” Kataku.
“Ceweknya belum tidur tau.”
“Nah bagus dong, biar itu cewenya bisa mimpi indah.”
“Bener nih? Yaudah, mau gak lo jadi pacar gue?”
Sampai di SMS ini, dadaku terasa semakin sesak. Namun bibirku tersenyum. Pada saat itu aku menjawab “Loh? Nembak gue? Emmm mau kak” dan mulai saat itu, kami resmi jadian.
***
                Jariku masih menggerakkan trackpad. Lagu yang terputar semakin tidak karuan galaunya. Sampai di SMS pada  tanggal 8 Januari. Aku menghela napas panjang, menyiapkan hatiku. Pada saat itu sekitar pukul 9 malam. Sejak pagi, aku sudah berantem dengan Dito. Sebenarnya hanya masalah sepele.
                “Terus mau lo apa? Putus?” tanyaku yang waktu itu benar-benar emosi.
                “Iya udahlah, kita putus aja. Capek.” Jawab Dito.
                “Oh oke. Terimakasih buat semuanya.”
                “Thanks too.”
Sejak itu hubungan kami berakhir. SMS terakhir dari Dito pada saat aku berulang tahun sebulan yang lalu.

***

                Playlist di handphoneku masih terus berjalan. Lagu Beautiful Goodbye dari Maroon5 terputar. Oh tidak, aku tidak boleh nangis. Aku belum selesai belajar sejarah untuk ujian sekolah minggu depan. Ya, pelajaran sejaran mengajarkanku tentang masa lalu, masa lalu yang tidak boleh ditinggalkan dan terus diingat.

Tuesday, March 12, 2013

Metamorfosis Nitrogen

Ini foto kelas 7 sama 9. Yang kelas 7 pas foto buat kartu pelajar, yang kelas 9 pas foto di hanggar(ehem). Bikin ngakak, liat aja deh ;-)


Aisyah Nisrina Hamidah (Ichub)

Aldino Haryo Pandu (Dino) 

Amanda Elvira Asha (Manda) Gue nihh-_-

Angelicha Putri Ayu Sekarsari (Angel)

Aryasuta Akbar Gilang R. (Rere)

Bella Pristianisa S. (Bella)

Damar Setya Kresna Adi (Damar)

Dwi Ayu Nur Setianingrum (Ayu)

Fadlillah Achmad Falevi (Afat)

Fauziyah Ariesta Putri (Fauz)

Hafara Firdausi (Haep)

Hamzah Rahmatullah (Hamzah)

Indira Kusumawardhani (Indira)

Johannes Marulitua S. (Johek)

M. Igo Nurulloh (Igo)

Maria Riezqie Firnanda (Firna)

M. Nimran Saladin (Nimran)

Nadhifah Nisrina Hapsari (Nana)

Nelva Kirana N. (Nelva)

Paramashanti Dewi Eka Putri (Dewi)

Rahadian Koesdijarto P. (Diar)

Rahmi Tsania W. (Rahmi)

Salsabilla Audinna (Sals)

Silvania Wemona Rahma (Vani)

Sonia Saviana (Shone)

Yocco Bimarta (Yocco)

Zarasakinah Wahyu Ringgita (Zara)



Udah yaa segitu. Gue mohon, meskipun foto-foto diatas itu amat sangat mempesona, tapi plis, jangan disave. Mwah, makasih :-)

Tuesday, March 5, 2013

Bali!

Ini postingan amat sangat terlambat. Ya soalnya menurut gue ini gak menarik, sama sekali gak menarik. Seumur-umur gue ke Bali, ini yang paling menurut gue membosankan. Bukan cuma itu, ngeselin juga. Pokoknya gue males waktu itu. Makanya gue terlambat ngepostnya.

ini busnya 95-96


Ya gak semuanya ngebosenin sama ngeselin sih. Cuman ada beberapa moment yang emang bener bener nyenengin. Salah satunya....yagitu. Momentnya tuh lewat chat bbm kok._.
Yaudah langsung aja ya foto fotonya ;-)
















Buat foto-foto yang lebih banyak, cek aja di facebook gue yap ;-)