Aku
percaya kalo semua orang itu punya kepribadian yang beda. Termasuk cowok. Aku
kurang setuju dengan pendapat “Semua cowok sama” yang biasa dilontarin cewe.
Mungkin, mereka kurang melihat sisi lain dari si cowok.
Tapi
kali ini, aku nemuin sosok cowok yang mirip dengan masa laluku. Masa lalu yang
sebenarnya sampai saat ini aku belum bisa melupakannya. Memang, melupakan masa
lalu itu lebih susah daripada melupakan isi buku sejarah. Untungnya aku anak
IPA, yaa meskipun masih ada pelajaran sejarah yang sebenarnya membuatku jengkel
sih.
Kenapa jadi bahas sejarah?
Masa
laluku bernama Mavin. Ia cowok yang pernah menempati hatiku selama hampir 1
tahun. Ia cowo yang baik. Ia tidak pernah berkata kotor/kasar, ia selalu taat
beribadah, ia juga rajin belajar, ia menyukai film, dan ia sangat perhatian.
Sama
seperti yang dilakukan seseorang padaku sekarang, setelah Mavin pergi hilang
entah kemana. Mario namanya. Perkenalan kami berawal saat aku dan sahabatku, Naya
sedang asik nongkrong di Jco.
Tiba-tiba
Gery, pacar Naya datang dengan temannya. Iya, dia Mario. Naya yang asik
ngobrol dengan pacarnya, lalu pamit untuk jalan-jalan. Tinggallah aku dan
Mario. Aku masih asik dengan Jcool-ku. Mario memandangiku.
“Mau?”
tanyaku. Bego, ngapain nawarin orang
asing kayak dia? Batinku.
“Engga,
makasih. Gue udah punya ini,” katanya sambil menunjuk cappuccinonya.
“Ohehe,”
aku hanya tersenyum, lalu melanjutkan memakan Jcoolku.
“Kita
belum kenalan,” katanya. Aku tersedak buah longan. “Hahaha,” ia menertawaiku.
“Oh
iya ya hahaha, gue Tira. Lo?” tanyaku.
“Mario.
Kok bisa kenal sama Gery?” tanyanya. “Dia kan pacar sahabat gue, lo siapanya
Gery?”
“Temen
satu sekolahannya dia,”
“Oooh,”
yeah, kata ini selalu bisa mengakhiri percakapan. Suasana hening. Ia meminum
cappucinonya dan aku sekarang sibuk dengan hapeku.
“Nay!
Lo kemana? Tega amat ninggalin temennya sama orang asing begini.” Aku mengirim
pesan kepada Naya. Aku kembali sibuk dengan Jcoolku.
“Sorry
ya Tir gue tinggal. Mendadak nyokapnya Gery nelfon nyuruh dia balik. Alhasil
gue ikut kerumah Gery. Have fun aja ya sama temennya Gery,” Naya membalas
pesanku. Sialan. Batinku.
Aku melihat ke arah Mario. Ia
sedang melihat hapenya juga. “Tir, gimana nih?” tanyanya saat ia memergoki aku
memandangnya.
“Gery
udah balik sama cewenya. Lo mau disini aja apa pulang?” lanjutnya.
“Emm…”
aku berpikir keras. Kalo aku pulang, mungkin aku bakal cuma guling-guling dikasur.
Kalo disini? Cuma liat orang mondar mandir dan Mario.
“Nonton
yuk,”ajaknya tiba-tiba. Aku kembali tersedak, kali ini almond.
“Mau
nonton apaan?” tanyaku.
“Udah
nonton Prisoners?” aku menggeleng.
“Yaudah
buruan abisin yogurt lo, terus kita langsung ke XXI,” ia lalu menghabiskan Cappucinonya.
***
Aku
dan Mario keluar dari studio. Kami saling diam. Perutku berbunyi. Dari pagi aku
belum makan sama sekali.
“Makan
yuk,” ajaknya. Apa Mario denger suara perutku?
“Yuk,
foodcourt aja ya,” lalu kami menuju foodcourt.
XXI dan foodcourt berada satu
lantai. Jadi kami tidak perlu naik atau turun escalator. Menuju ke foodcourt,
kami masih saling diam. Ia berjalan di depanku, dan aku dibelakang
mengikutinya.
Setelah
mencari tempat duduk yang kosong, kami duduk. “Mau gue dulu apa lo dulu yang
nyari makan?” kali ini aku berusaha berani memecah keheningan diantara kami. “Lo
dulu aja,” aku berdiri dan segera pergi mencari makan. Tak sampai 10 menit, aku
sudah kembali. Saat aku meletakkan nampan berisi makan dan minumku, Mario
segera berdiri lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia juga kembali
lumayan cepat.
“Lo
suka nonton film yang begituan?” tanya Mario saat kami selesai makan.
“Iya,”
“Kalo
film action atau film romance, lo milih mana?”
“Gue
sih lebih milih action,”
“Wah,
sama dong. Eh ada id Line ga? Siapatau kalo gue lagi suntuk atau ada film baru
gue bisa ajak lo pas gue gaada temen,” aku pun memberikan id Lineku. Sejak saat
itu, kami dekat. Tidak hanya membicarakan film saja, tapi yang lainnya.
Gaya
bahasanya, ia mirip dengan Mavin. Ia juga sering mengigatkanku untuk belajar,
beribadah, makan, dan lain sebagainya. Ia juga selalu mempunyai banyak topik
agar chat kami tidak terasa membosankan. Ia seperti Mavin.
“Tir,
nonton yuk. Catching Fire. Lo libur kan Sabtu besok?” tanyanya.
“Yuk.
Sama siapa aja? Gery-Naya?” tanyaku.
“Lo
gatau Gery sama Naya ya? Mereka kan gasuka nonton,”
“Oh
iya hahaha. Oke, besok jam berapa?”
“Jam
11 kita ketemuan di Jco, oke?”
“Oke”
***
Aku
sudah ada di Jco 15 menit lebih awal dari yang di janjikan. Dan ternyata Mario
juga sudah datang. “Kata gue kan jam 11,” Mario kaget saat melihatku. “Ya
gapapa dong lebih awal, toh lo juga udah dateng,” aku lalu duduk di depannya.
“Bioskop
masih 45 menit lagi bukanya, mau gue pesenin minum?” tanya Mario.
“Gue
udah ada ini,” aku menunjuk Jcool yang aku bawa.
“Oh
iya haha,”
Suasana kembali hening. Aku memperatikan
Mario saat menyeruput cappuccinonya. Mavin juga suka cappuccino.
“Tir,
jadian yuk,” ucapan Mario yang memecah keheningan mengagetkanku sehingga aku
tersedak. Entah sudah berapakali Mario melihatku tersedak.
“Becanda
ya lo?” tanyaku.
“Gue
serius,” Mario mencondongkan tubuhnya kedepan dan menatapku. Aku melihat
matanya! Tatapannya…ah indah sekali. Mungkin hanya mata ini yang tidak dimiliki
siapapun, termasuk Mavin.
“Yuk,”
aku tersenyum. “Asik.
Yaudah, abisin yogurt kamu, terus kita ke XXI beli tiket,” ajak Mario. Ia lalu
menyeruput cappuccinonya hingga habis.
No comments:
Post a Comment