Saturday, June 8, 2013

90 Menit

                Sudah hampir satu jam aku menunggu disini. Sampai-sampai cappucinno yang ku pesan sudah hampir dingin. Oreo cheesecake kesukaanku juga hampir habis.  Aku melihat hapeku. Pesan yang ku kirim satu jam yang lalu belum juga mendapat balasan.
***
Jumat sore.
Angga: “Besok kita ketemuan di café biasa. Mumpung kita lagi satu kota nih.”
Gita: “Oke. Jam berapa?” Sial, undelivered. Batinku. Ayo buruan deliv dong. Aku melempar hapeku ke kasur.
Angga: “Sorry Git, habis reboot. Jam 7 malem ya.”
Gita: “Siap bos.”
                Angga namanya. Dulu waktu SMP kami satu sekolah. Tapi kami tidak dekat, malah seperti orang tidak kenal. Akhir kelas 3, kami baru dekat. Itupun gara-gara kami bertemu di salah satu konser musik jazz di Jogja. Mulai kejadian itu, intensitas chatting kami lebih sering. Saat bertemu pun kadang kami saling menegur sapa.
                Hingga akhirnya, pada saat SMA aku harus pindah ke Jakarta. Hal ini tidak menghalangi kami untuk saling curhat dan membicarakan aliran musik kesukaan kami yang kebetulan sama. Kami pun semakin dekat meskipun jarak kami lebih dari 500 kilometer.
Sabtu pagi.
Angga: “Jangan lupa nanti malem jam 7.”
Gita: “Iya, Ngga.”
                Aku sampai pukul 7 tepat. Kayaknya Angga belum dateng, pikirku. Aku memilih duduk di luar agar Angga lebih mudah menemuiku nanti. Aku memutuskan untuk memesan cappucinno dan oreo cheesecake kesukaanku. 15 menit berlalu, ia belum juga datang.

***
                Sudah pukul 8 lebih. Ah aku benci menunggu seperti ini. Aku memutuskan mengirimkan pesan kepada Angga lagi.
Gita: “Ngga, kalo setengah 9 lo belum dateng, gue balik nih.”
Aku berdoa dalam hati, semoga dia baca.
Oh sepertinya dia membuang hapenya. 10 menit aku menunggu, tetap tidak ada balasan dari Angga. Batang hidungnya pun tidak terlihat. Padahal 7 menit lagi sudah pukul setengah 9.
                “Ngelamun aja lo git. Sorry gue telat. Mobil gue mogok tadi. Ya lo tau lah mobil gue gimana uniknya haha,” Angga datang. Mengagetkanku.
                “Seenggaknya lo ngabarin gue, Ngga. SMS gue juga ga lo bales,” kataku sedikit kesal.
                “Hape gue low nih. Nih nih liat,” Angga menunjukkan hapenya padaku. Oke, memang benar hapenya lowbat.
                “So…ngapain lo ngajak ketemuan?” tanyaku.
                “Mas!” teriak Angga, ia memanggil pelayan yang berdiri di dekat pintu itu. Pelayan itu pun datang menghampiri kami.
                “Bisa saya bantu mas?” tanya pelayan itu. Bima namanya. Iya, aku membaca name tagnya.
                “Latte satu ya mas,” pesan Angga. Pelayan yang bernama Bima itu pun menulis pesanan Angga.
                “Sudah ini saja?” tanya Bima.
                “Lo ga mesen, Git?” tanya Angga padaku.
                “Engga,” jawabku singkat.
                “Udah itu aja mas,”
                “Baik, terimakasih,” Bima meninggalkan meja kami.
                “Hey, lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Gue gamau ya nunggu lo sejam setengah buat hal yang ternyata ga penting,” Angga menoleh ke arahku.
                “Ini penting kok. Buat gue, buat lo juga mungkin. Git, gue sayang sama lo, lebih dari temen. Mau gak lo jadi……ya lo tau lah apa yang gue maksud,” oke, aku tau maksud Angga.
                “Tapi kita bakal LDR, Ngga,” jawabku.
                Angga menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, “Gapapa, Git. Gue siap.”
                “Hm…oke gue mau,” aku tersenyum, Angga juga tersenyum. Penantian 90 menit tanpa kabar malam ini yang membosankan memang tidak berakhir percuma seperti apa yang dikatakan Angga.
Pelayan yang bernama Bima tadi datang dengan nampan berisi secangkir Latte pesanan Angga dan menaruhnya di meja kami. Lalu ia pergi untuk bekerja lagi. Kami pun melanjutkan perbincangan kami.


No comments: