Sudah
hampir satu jam aku menunggu disini. Sampai-sampai cappucinno yang ku pesan
sudah hampir dingin. Oreo cheesecake kesukaanku juga hampir habis. Aku melihat hapeku. Pesan yang ku kirim satu
jam yang lalu belum juga mendapat balasan.
***
Jumat sore.
Angga: “Besok kita ketemuan di café biasa. Mumpung kita lagi
satu kota nih.”
Gita: “Oke. Jam berapa?” Sial,
undelivered. Batinku. Ayo buruan
deliv dong. Aku melempar hapeku ke kasur.
Angga: “Sorry Git, habis reboot. Jam 7 malem ya.”
Gita: “Siap bos.”
Angga
namanya. Dulu waktu SMP kami satu sekolah. Tapi kami tidak dekat, malah seperti
orang tidak kenal. Akhir kelas 3, kami baru dekat. Itupun gara-gara kami
bertemu di salah satu konser musik jazz di Jogja. Mulai kejadian itu,
intensitas chatting kami lebih
sering. Saat bertemu pun kadang kami saling menegur sapa.
Hingga
akhirnya, pada saat SMA aku harus pindah ke Jakarta. Hal ini tidak menghalangi
kami untuk saling curhat dan membicarakan aliran musik kesukaan kami yang
kebetulan sama. Kami pun semakin dekat meskipun jarak kami lebih dari 500
kilometer.
Sabtu pagi.
Angga: “Jangan lupa nanti malem jam 7.”
Gita: “Iya, Ngga.”
Aku
sampai pukul 7 tepat. Kayaknya Angga
belum dateng, pikirku. Aku memilih duduk di luar agar Angga lebih mudah
menemuiku nanti. Aku memutuskan untuk memesan cappucinno dan oreo cheesecake
kesukaanku. 15 menit berlalu, ia belum juga datang.
***
Sudah
pukul 8 lebih. Ah aku benci menunggu seperti ini. Aku memutuskan mengirimkan
pesan kepada Angga lagi.
Gita: “Ngga, kalo setengah 9 lo belum dateng, gue balik nih.”
Aku berdoa dalam hati, semoga
dia baca.
Oh sepertinya dia membuang hapenya. 10 menit aku menunggu,
tetap tidak ada balasan dari Angga. Batang hidungnya pun tidak terlihat.
Padahal 7 menit lagi sudah pukul setengah 9.
“Ngelamun
aja lo git. Sorry gue telat. Mobil gue mogok tadi. Ya lo tau lah mobil gue
gimana uniknya haha,” Angga datang. Mengagetkanku.
“Seenggaknya
lo ngabarin gue, Ngga. SMS gue juga ga lo bales,” kataku sedikit kesal.
“Hape
gue low nih. Nih nih liat,” Angga menunjukkan hapenya padaku. Oke, memang benar
hapenya lowbat.
“So…ngapain
lo ngajak ketemuan?” tanyaku.
“Mas!”
teriak Angga, ia memanggil pelayan yang berdiri di dekat pintu itu. Pelayan itu
pun datang menghampiri kami.
“Bisa
saya bantu mas?” tanya pelayan itu. Bima namanya. Iya, aku membaca name tagnya.
“Latte
satu ya mas,” pesan Angga. Pelayan yang bernama Bima itu pun menulis pesanan
Angga.
“Sudah
ini saja?” tanya Bima.
“Lo ga
mesen, Git?” tanya Angga padaku.
“Engga,”
jawabku singkat.
“Udah
itu aja mas,”
“Baik,
terimakasih,” Bima meninggalkan meja kami.
“Hey,
lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Gue gamau ya nunggu lo sejam setengah buat
hal yang ternyata ga penting,” Angga menoleh ke arahku.
“Ini
penting kok. Buat gue, buat lo juga mungkin. Git, gue sayang sama lo, lebih
dari temen. Mau gak lo jadi……ya lo tau lah apa yang gue maksud,” oke, aku tau
maksud Angga.
“Tapi
kita bakal LDR, Ngga,” jawabku.
Angga menarik
nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, “Gapapa, Git. Gue siap.”
“Hm…oke
gue mau,” aku tersenyum, Angga juga tersenyum. Penantian 90 menit tanpa kabar malam
ini yang membosankan memang tidak berakhir percuma seperti apa yang dikatakan
Angga.
Pelayan yang bernama Bima tadi datang dengan nampan berisi
secangkir Latte pesanan Angga dan menaruhnya di meja kami. Lalu ia pergi untuk
bekerja lagi. Kami pun melanjutkan perbincangan kami.
No comments:
Post a Comment