Wednesday, December 24, 2014

Biru

                Aku bosan. Akhir-akhir ini aku lebih sering mengkhayal. Tidak penting memang. Tapi sungguh, liburan kali ini sangat membosankan. Hanya makan, membaca novel, mendengarkan lagu, mengetik cerpen yang tak kunjung selesai, menulis sesuatu di blog yang akhirnya hanya menjadi draft, membuka tumblr atau weheartit atau semua media sosial yang ku punya, dan begitu seterusnya. Sama sekali tidak ada pesan, padahal aku menunggu sebuah pesan. Percuma aku membeli pulsa kemarin, batinku.
                Aku mengirimkan pesan kepada beberapa temanku yang berisi sama: Jalan yuk. Tapi tidak ada yang membalas. Sial.
                Aku kembali pada laptopku. Scroll down tumblr. Tiba-tiba mataku tertuju pada Skype. Aku membuka Skype-ku yang sudah hampir berdebu karena jarang dipakai. Aku melihat beberapa contact yang sedang online. Cukup banyak, tapi tidak ada yang bisa diajak berbincang. Tiba-tiba mataku tertuju pada contact bernama Biru. Aku berhenti dan double click pada nama contactnya.
Aku berhenti sejenak, menarik napas.
***
                Biru. Kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Entah aku lupa kami kenal darimana, yang jelas kami berteman di Skype. Ia keturunan Jawa dan tinggal di Singapura. Umurnya terpaut 3 tahun lebih tua denganku.
                Kami dekat. Seperti kakak dan adik. Kami sering cerita satu sama lain tentang sekolah. Tentang apa yang terjadi hari itu. Kadang kami videocall jika kami sama-sama tidak sibuk. Awalnya hanya bertatap muka, tidak ada yang memulai. Sampai pada akhirnya, ia berkata “Hai Shara”. Lalu kami berbicara tentang banyak hal.
                Pernah suatu hari, tepatnya pada tanggal 17 Januari tahun lalu ia bilang padaku “Maybe I’ll visit Indonesia on February. Kita bisa bertemu,” katanya di seberang sana. Aku sangat menunggu kehadirannya waktu itu. Sampai akhirnya, tiba bulan Februari.
                16 Februari, hari ulangtahunku. “Happy birthday sweetheart,” katanya. Aku mengucapkan terimakasih padanya. Lalu aku bertanya kapan tepatnya ia akan mengunjungi Indonesia. Ternyata ia harus ikut keluarganya mengunjungi Malaysia, sehingga membatalkan mengunjungi Indonesia. “It’s okay” kataku. Aku tidak kecewa, sama sekali tidak kecewa. “I’m sorry. Aku ingin bertemu denganmu,” katanya lagi. Kalimat itu ia ulang berkali-kali.
***
                “Hai Shara,” sapanya melalui videocall. Aku dapat melihat wajahnya yang sumringah tapi sedikit pucat waktu itu.
                “Hai Biru, are you okay?” tanyaku.
                “I’m okay, why?” mungkin ia tidak menyadari jika wajahnya sedikit pucat.
                “Wajahmu sedikit pucat, apakah kamu sakit?”
                “Tidak, aku baik-baik saja. I wanna talk to you,” kalimat yang membuat setiap pendengarnya berdebar sangat kencang, “aku mau bicara denganmu”. Bisa jadi berita baik, atau bahkan berita buruk.
                “Ya?” tanyaku sedikit gugup.
                “I love you Shara,” katanya, singkat.
                “Thank you for loving me. I love you too, as my brother,”
                “But I wanna be your boyfriend,” aku diam. Menarik napas dalam-dalam, lalu mematikan videocall. Aku sangat bingung. Tak lama, Biru mengirimkanku pesan.
                “Biru, I’m sorry. I can’t accept you as my boyfriend,” kataku menjelaskan.
                “Why?”
                “Maaf, aku sudah menganggapmu sebagai kakakku sendiri,”
                “Oh okay,” aku terdiam, tidak mengetik apapun. “Semoga kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan, ini terlalu sakit,” lanjutnya. Apakah aku terlalu jahat untuknya?
                “I’m sorry,”  aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dadaku terasa sesak. Aku berusaha membujuknya agar ia tidak mengharapkan aku untuk menjadi pacarnya. Aku sudah bilang bahwa gadis-gadis di kampusnya lebih cantik dan baik daripada aku. Tapi ia terus berkata “I want you,” terus menerus.
                “You can block me if you want,” kataku. Ini adalah cara terakhir. Ya dia tidak akan bisa berkomunikasi denganku lagi jika ia sudah memblokir ku. Tapi ia tidak mau. Aku juga tidak tega untuk memblokirnya.
                “I’m done. Good bye Shara,” katanya.
                “Good bye Biru,” aku membalas. Kemudian tidak ada balasan lagi.
***
                Suatu hari, saat aku presentasi tugas Bahasa Indonesia di depan kelas. Ada 1 pesan Skype. “Hai,” dari Biru. Aku tersenyum. Aku kira ia sudah melupakanku, batinku. Aku membalas pesannya, berharap kami bisa seperti dulu lagi. Tapi dugaanku salah, setelah aku menjawab bagaimana kabarku ia tidak membalasnya lagi.
Sampai sekarang.
Semuanya sudah berubah. Kadang aku merindukan sosok Biru yang selalu setia mendengar keluh kesahku. Kadang aku merindukan sosok Biru yang selalu berhasil membuat moodku naik.
Tapi ternyata ia terlalu berharap lebih, dan itu menghancurkan hubungan kami.
              

No comments: