Aku
bosan. Akhir-akhir ini aku lebih sering mengkhayal. Tidak penting memang. Tapi sungguh,
liburan kali ini sangat membosankan. Hanya makan, membaca novel, mendengarkan
lagu, mengetik cerpen yang tak kunjung selesai, menulis sesuatu di blog yang
akhirnya hanya menjadi draft, membuka
tumblr atau weheartit atau semua media sosial yang ku punya, dan begitu
seterusnya. Sama sekali tidak ada pesan, padahal aku menunggu sebuah pesan. Percuma aku membeli pulsa kemarin,
batinku.
Aku
mengirimkan pesan kepada beberapa temanku yang berisi sama: Jalan yuk. Tapi tidak
ada yang membalas. Sial.
Aku
kembali pada laptopku. Scroll down tumblr. Tiba-tiba mataku tertuju pada Skype.
Aku membuka Skype-ku yang sudah hampir berdebu karena jarang dipakai. Aku
melihat beberapa contact yang sedang online. Cukup banyak, tapi tidak ada yang
bisa diajak berbincang. Tiba-tiba mataku tertuju pada contact bernama Biru. Aku
berhenti dan double click pada nama
contactnya.
Aku berhenti sejenak, menarik
napas.
***
Biru.
Kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Entah aku lupa kami kenal darimana, yang
jelas kami berteman di Skype. Ia keturunan Jawa dan tinggal di Singapura. Umurnya
terpaut 3 tahun lebih tua denganku.
Kami
dekat. Seperti kakak dan adik. Kami sering cerita satu sama lain tentang
sekolah. Tentang apa yang terjadi hari itu. Kadang kami videocall jika kami sama-sama tidak sibuk. Awalnya hanya bertatap
muka, tidak ada yang memulai. Sampai pada akhirnya, ia berkata “Hai Shara”. Lalu
kami berbicara tentang banyak hal.
Pernah
suatu hari, tepatnya pada tanggal 17 Januari tahun lalu ia bilang padaku “Maybe
I’ll visit Indonesia on February. Kita bisa bertemu,” katanya di seberang sana.
Aku sangat menunggu kehadirannya waktu itu. Sampai akhirnya, tiba bulan
Februari.
16
Februari, hari ulangtahunku. “Happy birthday sweetheart,” katanya. Aku
mengucapkan terimakasih padanya. Lalu aku bertanya kapan tepatnya ia akan
mengunjungi Indonesia. Ternyata ia harus ikut keluarganya mengunjungi Malaysia,
sehingga membatalkan mengunjungi Indonesia. “It’s okay” kataku. Aku tidak
kecewa, sama sekali tidak kecewa. “I’m sorry. Aku ingin bertemu denganmu,”
katanya lagi. Kalimat itu ia ulang berkali-kali.
***
“Hai
Shara,” sapanya melalui videocall. Aku
dapat melihat wajahnya yang sumringah tapi sedikit pucat waktu itu.
“Hai
Biru, are you okay?” tanyaku.
“I’m
okay, why?” mungkin ia tidak menyadari jika wajahnya sedikit pucat.
“Wajahmu
sedikit pucat, apakah kamu sakit?”
“Tidak,
aku baik-baik saja. I wanna talk to you,” kalimat yang membuat setiap pendengarnya
berdebar sangat kencang, “aku mau bicara denganmu”. Bisa jadi berita baik, atau
bahkan berita buruk.
“Ya?”
tanyaku sedikit gugup.
“I
love you Shara,” katanya, singkat.
“Thank
you for loving me. I love you too, as my brother,”
“But
I wanna be your boyfriend,” aku diam. Menarik napas dalam-dalam, lalu mematikan
videocall. Aku sangat bingung. Tak lama,
Biru mengirimkanku pesan.
“Biru,
I’m sorry. I can’t accept you as my boyfriend,” kataku menjelaskan.
“Why?”
“Maaf,
aku sudah menganggapmu sebagai kakakku sendiri,”
“Oh
okay,” aku terdiam, tidak mengetik apapun. “Semoga kamu tidak merasakan apa
yang aku rasakan, ini terlalu sakit,” lanjutnya. Apakah aku terlalu jahat
untuknya?
“I’m
sorry,” aku tidak bisa berkata apa-apa
lagi. Dadaku terasa sesak. Aku berusaha membujuknya agar ia tidak mengharapkan
aku untuk menjadi pacarnya. Aku sudah bilang bahwa gadis-gadis di kampusnya
lebih cantik dan baik daripada aku. Tapi ia terus berkata “I want you,” terus
menerus.
“You
can block me if you want,” kataku. Ini adalah cara terakhir. Ya dia tidak akan
bisa berkomunikasi denganku lagi jika ia sudah memblokir ku. Tapi ia tidak mau.
Aku juga tidak tega untuk memblokirnya.
“I’m
done. Good bye Shara,” katanya.
“Good
bye Biru,” aku membalas. Kemudian tidak ada balasan lagi.
***
Suatu
hari, saat aku presentasi tugas Bahasa Indonesia di depan kelas. Ada 1 pesan
Skype. “Hai,” dari Biru. Aku tersenyum. Aku
kira ia sudah melupakanku, batinku. Aku membalas pesannya, berharap kami
bisa seperti dulu lagi. Tapi dugaanku salah, setelah aku menjawab bagaimana
kabarku ia tidak membalasnya lagi.
Sampai sekarang.
Semuanya sudah berubah. Kadang aku
merindukan sosok Biru yang selalu setia mendengar keluh kesahku. Kadang aku
merindukan sosok Biru yang selalu berhasil membuat moodku naik.
Tapi ternyata ia terlalu berharap
lebih, dan itu menghancurkan hubungan kami.