“Kenapa kamu
kangen aku?” tanyanya, setelah kami tidak bertemu selama satu bulan. Aku hanya
terdiam. “Aida?” panggilnya. Aku masih berpikir, mencari alasan yang tepat
untuk menjawabnya. Aku juga tidak tahu mengapa aku merindukannya.
***
20 menit yang
lalu ia tiba di depan rumahku. Mengirimkanku sebuah pesan, “tolong bukain pintu, aku diluar” aku langsung bergegas membukakan pintu rumah. Aku
mendapati ia berdiri di depan pagar rumah sambil tersenyum bahagia. “Ada apa?”
tanyaku, sembari membukakan pagar lalu mempersilahkan ia masuk ke dalam rumah.
“April mop!” ia berkata
dengan gembira.
“Apaansih, aku
ga ngerayain April Mop ya,” kataku. Dalam agamaku memang tidak dikenal April Mop.
“Maaf, aku juga
enggak kok. Aku mau ngasih kamu kejutan aja,”
“Kejutan kamu
tiba-tiba nongol di depan pagar rumah
aku?”
“Kamu kangen ga
sama aku?” tanyanya. Aku jelas merindukannya. Ia teman dekatku semenjak kami
duduk di bangku SMP.
“Iya,” jawabku
singkat, aku tidak mau membuatnya besar kepala.
“Banget?”
tanyanya lagi dengan muka jahilnya.
“Iya, kenapa
sih? Abisnya kamu hilang tiba-tiba ga ada kabar gitu,”
“Yes, aku
berhasil ngerjain kamu!” katanya dengan bangga. Aku hanya menatapnya kesal.
Sialan, ia benar-benar berhasil membuatku cemas sebulan ini.
“Jangan marah
dong, kan becanda,” katanya, dengan muka seperti biasanya saat merayuku.
“Aku engga marah
kok,” jawabku.
Akhirnya ia
menceritakan kemana saja ia sebulan ini. Katanya ia travelling seorang diri menyusuri Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia
menunjukkan beberapa fotonya padaku. Aku melayangkan pukulan ke lengan kirinya.
“Aw!” ia berteriak, “kenapa dipukul sih?” tanyanya.
“Jahat ya kamu,
udah tau aku pengen ke semua tempat ini, malah kamu pergi sendirian. Temen
macam apa coba,”
“Maaf deh, kalo
sama kamu nanti kasian kamu. Aku aja tersesat mulu. Tidur aja kadang di
musholla, kan kasian kamu kalo kaya gitu,”
“Aku mau kok
kaya gitu. Kamu kaya kenal aku baru seminggu aja deh,”
“Hmm..iya iya
nanti kapan-kapan kita pergi bareng,”
“Janji ya?”
tanyaku sambil menunjukkan jari kelingking.
“Janji,” lalu
jari kelingking kami saling bertautan.
***
“Jelas lah aku
kangen kamu. Aku kesepian tau,” akhirnya aku menjawab. Ia langsung menatapku
lebih dalam.
“Apa? Kesepian? Bukannya
kamu punya segudang cowok yang selalu perhatian sama kamu ya?” katanya sambil
tertawa.
“Kenapa ketawa?”
aku sedikit kesal. Mungkin Kevin tidak tahu apa yang aku rasakan.
“Ga boleh ya? Maaf.
Terus kenapa bisa kesepian?” tanyanya lagi. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku
menarik napas dalam-dalam agar tidak ada air mata yang keluar dari kedua
mataku.
“Emang banyak
cowok yang perhatian sama aku, tapi aku cuma mau kamu,” jawabku. Kevin langsung
diam. Aku menunggu responnya.
“Aku? Tapi kenapa?
Aku engga ganteng kaya mereka, Da”
“I don’t care with your look, Vin. Aku nyaman
sama kamu. Aku takut bilang ini, aku takut ngerusak persahabatan kita,” mataku
sudah berkaca-kaca. Kevin melihatnya.
“Aida, aku ga
suka liat kamu nangis,” ia mengusap air mataku yang sudah jatuh di pipi dengan
lembut. “I love you more than friend, Da. Selama ini aku
juga pengen bilang sama kamu, tapi aku minder sama cowok-cowok yang deketin
kamu,” aku tersenyum tipis, namun masih menangis.
“So?” tanyaku.
“Aku suka kita
yang gini. Tapi percaya sama aku, nanti kalau aku sudah lulus dan dapet kerja,
aku bakal nikahin kamu. Kita ga usah kaya anak kecil yang pake acara pacaran,
biarin aja kita kaya gini terus. Oke?” Kevin tersernyum.
“Oke,”