Saturday, April 4, 2015

It Doesn't Matter

“Kenapa kamu kangen aku?” tanyanya, setelah kami tidak bertemu selama satu bulan. Aku hanya terdiam. “Aida?” panggilnya. Aku masih berpikir, mencari alasan yang tepat untuk menjawabnya. Aku juga tidak tahu mengapa aku merindukannya.
***
20 menit yang lalu ia tiba di depan rumahku. Mengirimkanku sebuah pesan, “tolong bukain pintu, aku diluar”  aku langsung bergegas membukakan pintu rumah. Aku mendapati ia berdiri di depan pagar rumah sambil tersenyum bahagia. “Ada apa?” tanyaku, sembari membukakan pagar lalu mempersilahkan ia masuk ke dalam rumah.
“April mop!” ia berkata dengan gembira.
“Apaansih, aku ga ngerayain April Mop ya,” kataku. Dalam agamaku memang tidak dikenal April Mop.
“Maaf, aku juga enggak kok. Aku mau ngasih kamu kejutan aja,”
“Kejutan kamu tiba-tiba nongol di depan pagar rumah aku?”
“Kamu kangen ga sama aku?” tanyanya. Aku jelas merindukannya. Ia teman dekatku semenjak kami duduk di bangku SMP.
“Iya,” jawabku singkat, aku tidak mau membuatnya besar kepala.
“Banget?” tanyanya lagi dengan muka jahilnya.
“Iya, kenapa sih? Abisnya kamu hilang tiba-tiba ga ada kabar gitu,”
“Yes, aku berhasil ngerjain kamu!” katanya dengan bangga. Aku hanya menatapnya kesal. Sialan, ia benar-benar berhasil membuatku cemas sebulan ini.
“Jangan marah dong, kan becanda,” katanya, dengan muka seperti biasanya saat  merayuku.
“Aku engga marah kok,” jawabku.
Akhirnya ia menceritakan kemana saja ia sebulan ini. Katanya ia travelling seorang diri menyusuri Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia menunjukkan beberapa fotonya padaku. Aku melayangkan pukulan ke lengan kirinya. “Aw!” ia berteriak, “kenapa dipukul sih?” tanyanya.
“Jahat ya kamu, udah tau aku pengen ke semua tempat ini, malah kamu pergi sendirian. Temen macam apa coba,”
“Maaf deh, kalo sama kamu nanti kasian kamu. Aku aja tersesat mulu. Tidur aja kadang di musholla, kan kasian kamu kalo kaya gitu,”
“Aku mau kok kaya gitu. Kamu kaya kenal aku baru seminggu aja deh,”
“Hmm..iya iya nanti kapan-kapan kita pergi bareng,”
“Janji ya?” tanyaku sambil menunjukkan jari kelingking.
“Janji,” lalu jari kelingking kami saling bertautan.
***
“Jelas lah aku kangen kamu. Aku kesepian tau,” akhirnya aku menjawab. Ia langsung menatapku lebih dalam.
“Apa? Kesepian? Bukannya kamu punya segudang cowok yang selalu perhatian sama kamu ya?” katanya sambil tertawa.
“Kenapa ketawa?” aku sedikit kesal. Mungkin Kevin tidak tahu apa yang aku rasakan.
“Ga boleh ya? Maaf. Terus kenapa bisa kesepian?” tanyanya lagi. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku menarik napas dalam-dalam agar tidak ada air mata yang keluar dari kedua mataku.
“Emang banyak cowok yang perhatian sama aku, tapi aku cuma mau kamu,” jawabku. Kevin langsung diam. Aku menunggu responnya.
“Aku? Tapi kenapa? Aku engga ganteng kaya mereka, Da”
I don’t care with your look, Vin. Aku nyaman sama kamu. Aku takut bilang ini, aku takut ngerusak persahabatan kita,” mataku sudah berkaca-kaca. Kevin melihatnya.
“Aida, aku ga suka liat kamu nangis,” ia mengusap air mataku yang sudah jatuh di pipi dengan lembut. “I love you more than friend, Da. Selama ini aku juga pengen bilang sama kamu, tapi aku minder sama cowok-cowok yang deketin kamu,” aku tersenyum tipis, namun masih menangis.
So?” tanyaku.
“Aku suka kita yang gini. Tapi percaya sama aku, nanti kalau aku sudah lulus dan dapet kerja, aku bakal nikahin kamu. Kita ga usah kaya anak kecil yang pake acara pacaran, biarin aja kita kaya gini terus. Oke?” Kevin tersernyum.

“Oke,”