Thursday, April 11, 2013

Nomor 5

                Aku duduk di beranda luar salah satu kedai kopi di kotaku. Di depanku ada sepasang kekasih saling berbincang. Di sebelahku ada segerombolan anak muda dengan rokok ditangannya. Sedangkan aku, sendirian.
                Aku membuka handphoneku dan menuju ke kotak pesan. Aku membaca pesan itu kembali.
                ‘Kita udahan ya. Semoga bisa cepet jadian sama dia’
                Pesan dari  Nanda tadi sore. Tidak jelas apa alasannya, sampai sekarang aku pun masih bertanya. Berusaha menemukan jawaban di tempat dan meja yang sama saat aku dan Nanda bertemu.  
***
Malam itu, tanggal 29 Januari aku menuju ke tempat ini untuk menemui Nanda. Aku membeli sebuah powerbank yang ia jual. Itu kali pertama aku bertemu Nanda.
“Bella ya?” sesosok laki-laki dengan kemeja denim biru tua dan celana chino coklat yang serasi dengan pakaiannya menghampiriku.
“Iya.  Lo Nanda?” tanyaku.
“Iya gue Nanda. Maaf ya nunggu lama, tadi macet sih,” kata Nanda.
“Iya gapapa, duduk gih,” aku mempesilahkan Nanda duduk di depanku. Lalu ia memberikan powerbank yang akan aku beli. Dan kami pun berbincang banyak hal. Sejak saat itu, aku sudah merasa nyaman dengan Nanda.
Sebulan kami berkenalan, akhirnya kami jadian. Tepat tanggal 17 Maret. Ditempat yang sama saat kami pertama bertemu, meja nomor 5 di beranda depan kedai kopi.
Hubungan kami berjalan lancar sejauh ini. Namun, tiba-tiba tadi sore ia marah padaku.
“Bel, gue mau nanya sesuatu sama lo,” pesan dari Nanda mengagetkanku saat aku akan pulang sekolah.
“Tanya apa?” tanyaku sedikit berhati-hati.
“Revan siapa? Seharian kemaren kayaknya lo mention-an terus sama dia,” balas Nanda.
“Oh dia temen SD gue, kenapa?”
“Gue curiga. Mending kita udahan ya. Semoga bisa cepet jadian sama Revan,”
“Kok gitu sih? Hey gue sayang sama lo, Nda” kataku, dadaku terasa sesak.
“Gue cemburu Bel, lo sering main sama cowo. Kayaknya temen lo tuh cowo semua, gue capek cemburu terus. Maaf Bel, gue gabisa jadi yang lo mau,” balas Nanda.
***
Oke, hubungan kami berakhir begitu saja. Menyakitkan. Aku masih duduk sendirian di meja nomor 5 ini. Menyeruput hot cappuccino yang perlahan mulai mendingin seiring berjalannya waktu.  Tiba-tiba sesosok laki-laki dengan secangkir kopinya menghampiriku.
“Boleh duduk disini?” tanyanya. Aku yang menunduk langsung menatap laki-laki itu. Nanda?
“Nanda? Ngapain lo kesini? Boleh kok,” kataku mempersilahkan ia duduk didepanku.
“Gue pengen ngopi aja. Eh gue liat ada cewe sendirian duduk diluar, terus gue kesini deh. Gak baik cewe duduk sendirian diluar malem gini,”
“Haha ga baik gimana? Toh gue masih aman-aman aja tuh,” kataku sedikit tersenyum.
“Sebenernya gue mau ngomong sesuatu sama lo, Bel. Tadi gue kerumah lo, tapi lo gak ada. Kata kakak lo, lo disini. Yaudah gue samperin kesini,”
“Ngomong apaan?”
“Soal kejadian tadi sore Bel. Maaf gue salah paham sama lo. Harusnya gue lebih ngertiin lo, ga terlalu protektif sama lo. Gue nyesel Bel. Mau gak kita balikan?” tanya Nanda. Aku terdiam sesaat.
“Iya Nda, gue mau. Tapi janji ya lo jangan over sama gue lagi. Lo tau kan dari dulu temen gue emang banyak cowonya hehe,” kataku.
“Iya Bel, gue janji. Maafin gue ya sayang,” Nanda tersenyum menatapku, lalu ia mengambil tanganku dan menggenggamnya.
Di kedai kopi yang sama, di meja nomor 5. Tempat yang sangat bersejarah buatku dan Nanda. Tempat pertama kali kami bertemu, tempat saat ia mengungkapkan perasaannya dan tempat dimana hubungan kami membaik setelah hancur. Meja nomor 5.