Aku
duduk di beranda luar salah satu kedai kopi di kotaku. Di depanku ada sepasang
kekasih saling berbincang. Di sebelahku ada segerombolan anak muda dengan rokok
ditangannya. Sedangkan aku, sendirian.
Aku
membuka handphoneku dan menuju ke
kotak pesan. Aku membaca pesan itu kembali.
‘Kita udahan ya. Semoga bisa cepet jadian sama
dia’
Pesan
dari Nanda tadi sore. Tidak jelas apa
alasannya, sampai sekarang aku pun masih bertanya. Berusaha menemukan jawaban
di tempat dan meja yang sama saat aku dan Nanda bertemu.
***
Malam itu, tanggal 29 Januari aku
menuju ke tempat ini untuk menemui Nanda. Aku membeli sebuah powerbank yang ia jual. Itu kali pertama
aku bertemu Nanda.
“Bella ya?” sesosok laki-laki
dengan kemeja denim biru tua dan celana chino
coklat yang serasi dengan pakaiannya menghampiriku.
“Iya. Lo Nanda?” tanyaku.
“Iya gue Nanda. Maaf ya nunggu
lama, tadi macet sih,” kata Nanda.
“Iya gapapa, duduk gih,” aku
mempesilahkan Nanda duduk di depanku. Lalu ia memberikan powerbank yang akan aku beli. Dan kami pun berbincang banyak hal.
Sejak saat itu, aku sudah merasa nyaman dengan Nanda.
Sebulan kami berkenalan, akhirnya
kami jadian. Tepat tanggal 17 Maret. Ditempat yang sama saat kami pertama
bertemu, meja nomor 5 di beranda depan kedai kopi.
Hubungan kami berjalan lancar sejauh
ini. Namun, tiba-tiba tadi sore ia marah padaku.
“Bel, gue mau nanya sesuatu sama
lo,” pesan dari Nanda mengagetkanku saat aku akan pulang sekolah.
“Tanya apa?” tanyaku sedikit
berhati-hati.
“Revan siapa? Seharian kemaren
kayaknya lo mention-an terus sama
dia,” balas Nanda.
“Oh dia temen SD gue, kenapa?”
“Gue curiga. Mending kita udahan
ya. Semoga bisa cepet jadian sama Revan,”
“Kok gitu sih? Hey gue sayang sama
lo, Nda” kataku, dadaku terasa sesak.
“Gue cemburu Bel, lo sering main
sama cowo. Kayaknya temen lo tuh cowo semua, gue capek cemburu terus. Maaf Bel,
gue gabisa jadi yang lo mau,” balas Nanda.
***
Oke, hubungan kami berakhir begitu
saja. Menyakitkan. Aku masih duduk sendirian di meja nomor 5 ini. Menyeruput hot cappuccino yang perlahan mulai
mendingin seiring berjalannya waktu.
Tiba-tiba sesosok laki-laki dengan secangkir kopinya menghampiriku.
“Boleh duduk
disini?” tanyanya. Aku yang menunduk langsung menatap laki-laki itu. Nanda?
“Nanda? Ngapain lo
kesini? Boleh kok,” kataku mempersilahkan ia duduk didepanku.
“Gue pengen ngopi aja. Eh gue liat ada cewe
sendirian duduk diluar, terus gue kesini deh. Gak baik cewe duduk sendirian
diluar malem gini,”
“Haha ga baik
gimana? Toh gue masih aman-aman aja tuh,” kataku sedikit tersenyum.
“Sebenernya gue
mau ngomong sesuatu sama lo, Bel. Tadi gue kerumah lo, tapi lo gak ada. Kata kakak
lo, lo disini. Yaudah gue samperin kesini,”
“Ngomong apaan?”
“Soal kejadian
tadi sore Bel. Maaf gue salah paham sama lo. Harusnya gue lebih ngertiin lo, ga
terlalu protektif sama lo. Gue nyesel Bel. Mau gak kita balikan?” tanya Nanda.
Aku terdiam sesaat.
“Iya Nda, gue
mau. Tapi janji ya lo jangan over sama gue lagi. Lo tau kan dari dulu temen gue
emang banyak cowonya hehe,” kataku.
“Iya Bel, gue
janji. Maafin gue ya sayang,” Nanda tersenyum menatapku, lalu ia mengambil
tanganku dan menggenggamnya.
Di kedai kopi
yang sama, di meja nomor 5. Tempat yang sangat bersejarah buatku dan Nanda. Tempat
pertama kali kami bertemu, tempat saat ia mengungkapkan perasaannya dan tempat
dimana hubungan kami membaik setelah hancur. Meja nomor 5.